Tugas Pemerintah Membina Eks Napi Teroris

By Admin

nusakini.com--Terorisme masih menjadi bahaya laten bagi Indonesia. Deteksi dini diperkuat, untuk meningkatkan kewaspadaan. Pun program deradikalisasi terus intensif dilakukan dengan berbagai pendekatan. Khusus untuk eks napi terorisme, tugas pemerintah membinanya, agar mereka kembali ke jalan yang benar dan dapat membaur kembali dengan masyarakat. 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan itu saat diwawancarai para wartawan usai menghadiri acara penandatanganan Memorandum of Understanding antara Kementerian Dalam Negeri dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Jakarta, Senin (12/3). Menurut Tjahjo, deteksi dini menjadi faktor utama dalam mendeteksi setiap gelagat di tengah masyarakat. Termasuk juga gelagat yang mengarah pada ancaman terorisme. Kewaspadaan menjadi kunci. Disamping, pendekatan lain yang lebih menyentuh pada kemanusiaan. Misalnya kepada mereka yang telah menjalani hukuman, pendekatannya tentu lain. Lebih soft, tanpa mengurangi kewaspadaan. 

"Kita waspada boleh, tapi tidak harus mencurigai bagi kelompok-kelompok tadi yang sudah dibina oleh BNPT. Sehingga akses berkomunikasi berbaur dengan masyarakat itu harus diberikan ruang, tapi harus dipantau diikuti, " katanya. 

Menurut Tjahjo, itu menjadi bagian dari sebuah proses pembinaan dalam konteks penanggulangan radikalisme. Sebab, mereka yang telah menjalani hukuman, atau mereka yang baru pulang dari Suriah, misalnya, tetap masih warga negara Indonesia. Jadi tidak mungkin diusir. Maka, tugas BNPT bersama dengan jajaran pemerintah, baik pusat mau pub daerah, membinanya. Dan memantaunya. 

"Kita berikan satu pembinaan. Saya kira ini program yang cukup besar, komperhensif tapi kuncinya harus ada kerjasama. Dan Pak Suhardi Alius (Kepala BNPT) sudah berkomunikasi dengan semua pihak. Dengan tentara, kepolisian, BIN, kejaksaan, Kemendagri, sektor swasta dan luar negeri," ujarnya. 

Apalagi tahun ini, lanjut Tjahjo, adalah tahun politik, yang memerlukan kewaspadaan dari semua pihak. Termasuk waspada terhadap ancaman terorisme yang bisa saja akan mengganggu stabilitas saat pesta demokrasi digelar. 

"Tahun ini kita menghadapi proses konsolidasi demokrasi mulai Pilkada sampai Pileg dan Pilpres ada event Asian Games juga. Ini juga bagian yang menjadi tugas tanggung jawab BNPT dan Kemendagri, menjaga stabilitas," katanya. 

Terkait hak dokumen kependudukan bagi eks napi terorisme, menurut Tjahjo, tidak dibedakan. Mereka, tetap warga Indonesia yang punya hak yang sama dengan warga negara lainnya. Tentu, kalau sudah dibina, ada monitoring. Data tentang mereka tentu akan terus di-update. 

"Saya kira apapun mereka kalau sudah dibina, sudah ada sinyal, saya kira sebagai warga negara dia berhak punya data karena KTP kan juga nyawa warga negara kita. Dengan dia punya KTP kan dia punya BPJS, kartu sehat, kartu pintar dan sebagainya. Saya kira itu akan terus kita update tapi datanya ada di kita. Dia namanya siapa, tinggal dimana, pekerjaannya apa , semua lengkap datanya. Sehingga ditingkat RT RW sampe Kapolsek, Koramil juga ikut memantau dengan baik," tutur Tjahjo. 

Terkait ini, Kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius menambahkan, para eks napi terorisme kesulitan mengakses data kependudukan, karena kesalahan dari BNPT yang memang harus hati-hati. Sehingga, data tentang mereka tidak dishare. Akibatnya, pemerintah daerah pun bersikap hati-hati juga. Tapi dengan kerjasama dengan Kemendagri, masing-masing pihak bisa memonitoring. 

"Pemda tidak tahu siapa dia. Itu mungkin kehati-hatian pemda. Oleh sebab itu data sudah ya. Mudah-mudahan bisa kita monitoring," katanya. 

Saat ini, lanjut Suhardi, tercatat ada 600 lebih eks napi terorisme. Mereka sudah keluar dari penjara. Ini yang terus dimonitor bersama instansi lain, termasuk Kemendagri. Tidak terkecuali mereka yang baru pulang dari Suriah. Itu pun diawasi. 

"Itu termasuk yang kita monitoring (yang pulang dari Suriah). Itu ratusan juga. Ratusan itu kan macem-macem. Ada yang orang dewasanya, perempuan, anak-anak juga," katanya. 

Bentuk monitoringnya seperti apa, Suhardi mencontoh kerjasama akses data kependudukan dengan Kemendagri. Dengan kerjasama ini, pihaknya bisa tahu data tentang mereka yang pernah terlibat dalam terorisme. Misal, alamat dan data lainnya. 

"Itu kerjasama dengan Kemendagri dimana mereka tinggal. Karena prosesnya adalah mereka ketika sampai di Indonesia kita langsung datakan. Kita taruh lokalisasi sebulan setelah itu dijemput oleh Kemendagri dimasing-masing wilayah dimana dia. Sehingga betul-betul daerah berperan serta dimana mereka tinggal, dengan siapa mereka bergaul, dan sebagainya. Kita monitoring karena kita perlu melakukan atensi khusus buat yang seperti itu karena takutnya ideologi radikal masih ada," urai Suhardi. (p/ab)